Tuesday, April 15, 2008

Haruskah Dibuat Sulit?

Matahari di padang pasir terasa membakar kulit. Hanya sesekali angin bertiup dan menerbangkan debu-debu yang memerihkan mata. Cukup membuat seorang pemuda kerepotan mengurangi samudra pasir yang membentang luas. Namun, hatinya agak tenang. Unta yang di tungganginya masih muda dan kuat. Ia berharap kendaraannya sanggup menempuh perjalanan yang jauh. Perbekalan yang dibawanya pun akan cukup membuatnya bertahan selama perjalanan. Masih separuh lagi perjalanan yang harus ditempuh pemuda itu. "Mudah-mudahan, aku selamat sampai Makkah. Dan, segera melihat Baitullah yang selama ini kurindukan," katanya penuh harap. Panggilan rukun Islam kelima itulah yang membulatkan tekadnya. Mengarungi padang pasir yang terik. Tiba-tiba, pemuda itu menatap tajam ke arah seseorang yang tengah berjalan sendirian di padang pasir. Kenapa orang itu berjalan sendiri di tempat seperti ini? Tanya pemuda itu dalam hati. Sungguh mengundang bahaya. Pemuda tersebut menghentikan untanya di dekat orang itu. Ternyata, ia seseorang lelaki tua yang berjalan terseok-seok di bawah terik matahari. Lalu, anak muda itu segera turun dari kendaraannya. "Wahai, Bapak Tua. Bapak mau pergi ke mana?" tanyanya ingin tahu. "Insya Allah, aku akan ke Baitullah," jawab orang tua itu dengan tenang. "Benarkah?!" anak muda itu terperanjat. Apa orang tua itu sudah tidak waras? Ke Baitullah dengan berjalan kaki?, ujarnya membatin. "Betul, nak, aku akan melaksanakan ibadah haji," kata lelaki tua itu pula. "Masya Allah, Baitullah itu jauh sekali dari sini. Bagaimana kalau bapak tersesat atau mati kelaparan? Lagi pula, semua orang yang kesana harus naik kendaraan. Kalau tidak naik unta, bisa naik kuda. Kalau berjalan kaki seperti bapak, kapan bapak bisa sampai ke sana?" pemuda itu tercenung.

Ia yang menunggang unta dan membawa perbekalan saja, masih merasa khawatir selama dalam perjalanan yang begitu jauh dan berbahaya. Siapapun tak akan sanggup menempuh perjalanan sejauh itu dengan berjalan kaki. Apa ia tidak salah bicara?. Atau memang orang tua itu sudah terganggu ingatannya?. "Aku juga berkendaraan, " kata lelaki tua itu mengejutkan. Si pemuda yakin kalau dari kejauhan tadi, ia melihat orang tua itu berjalan sendirian tanpa kendaraan apa pun. Tapi, Pak tua malah mengatakan dirinya memakai kendaraan. Orang ini benar-benar sudah tidak waras. Ia merasa memakai kendaraan, padahal aku lihat ia berjalan kaki..., pikir si pemuda geli. "Apa Bapak yakin kalau Bapak memakai kendaraan?" tanya pemuda itu menahan senyumnya. "Kau tidak melihat kendaraanku? " orang tua itu malah mengajukan pertanyaan yang membingungkan. Si pemuda, kini tak dapat lagi menyembunyikan kegeliannya. "Kalau begitu, apa kendaraan yang Bapak pakai?" tanyanya sambil tersenyum. Orang tua itu termenung beberapa saat. Pandangannya menyapu padang pasir yang luas. Dengan sabar, si pemuda menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut orang tua itu. Akankah ia mampu menjawab pertanyaan tadi?. "Kalau aku melewati jalan yang mudah, lurus, dan datar, kugunakan kendaraan bernama syukur. Jika aku melewati jalan yang sulit dan mendaki, kugunakan kendaraan bernama sabar," jawab orang tua itu tenang. Si pemuda ternganga dan tak berkedip mendengar kata-kata orang tua itu.

Tak sabar, pemuda itu ingin segera mendengar kalimat selanjutnya dari lelaki tua tersebut. "Jika takdir menimpa dan aku tidak sampai ke tujuan, kugunakan kendaraan ridha. Kalau aku tersesat atau menemui jalan buntu, kugunakan kendaraan tawakkal. Itulah kendaraanku menuju Baitullah," kata lelaki tua itu melanjutkan. Mendengar kata-kata tersebut, si pemuda merasa terpesona. Seolah melihat untaian mutiara yang memancar indah. Menyejukkan hati yang sedang gelisah, cemas, dan gundah. Perkataan orang tua itu amat meresap ke dalam jiwa anak muda tersebut. "Maukah Bapak naik kendaraanku? Kita dapat pergi ke Baitullah bersama-sama, " ajak si pemuda dengan sopan. Ia berharap akan mendengarkan untaian-untaian kalimat mutiara yang menyejukkan jiwa dari orang tua itu. "Terima kasih, Nak, Allah sudah menyediakan kendaraan untukku. Aku tak boleh menyia-nyiakannya. Dengan ikut menunggang kendaraanmu, aku akan menjadi orang yang selamanya bergantung kepadamu," sahut orang tua itu dengan bijak, seraya melanjutkan perjalanannya. Ternyata, orang tua itu adalah Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang terkenal dengan kebijaksanaannya. (Disadur dari Kumpulan Kisah Teladan).

Kisah diatas mungkin bisa menjadi renungan kita manakala menghadapi kesulitan hidup. Tidak sedikit orang yang kerap mudah protes dan merasa susah menghadapi kenyataan. Setiap manusia apapun keyakinannya pasti akan dicukupi kebutuhannya, dan Allah SWT tidak pernah menghitung-hitung pemberian-Nya, namun ketika sebuah kegetiran hadir, tidak jarang mereka mengeluh, bahkan kadang merasa sebagai orang paling menderita di dunia. Mereka lupa bahwa kepahitan yang datang hanyalah sedikit dari banyak kenikmatan yang diperoleh. Kebanyakan manusia ingin bahwa hidupnya selalu dalam kondisi senang, kalau bisa sampai kematian menjemputnya. Tetapi apakah mungkin kondisi tersebut akan terjadi selama hidup seseorang?. Jawabnya, tentu tidak mungkin. Hidup manusia tidak linear, berjalan searah. Adakalanya pada suatu waktu ia merasa senang, namun pada kali lain akan merasa sebaliknya. Ada saat seseorang merasa bahagia mendapatkan buah keturunan misalnya, namun di waktu lain mengalami kehilangan anak tercintanya. Hari ini memperoleh sebuah mobil pribadi, mungkin beberapa waktu kemudian mobil tersebut hilang dibawa lari. Senyatanya tiada yang kekal dan abadi, semuanya datang silih berganti, sebagaimana malam berganti siang, dan siang berganti malam. "Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin memgambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur." (QS. Al Furqaan, 25:62).

Bersyukur kala memperoleh kebaikan, bersabar saat keburukan tiba, ridha ketika takdir menghampiri, serta tawakal ketika segala ikhtiar telah dilakukan. Karena Allah SWT telah berfirman, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) . Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan." (QS. Al Anbyaa, 21:35). Itulah amalan yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang pandai bersyukur. Bahkan ketika seseorang menghadapi harus kondisi yang tidak menyenangkan di sekitarnya, seperti antara lain; kemaksiatan merajalela, perilaku bathil terjadi disana-sini, satu kaum bertikai dengan golongan lain, yang kuat melumat yang lemah, hukum tidak berpihak pada keadilan, serta banyak lagi. Jika sikap seseorang tidak berubah, teguh pada pendirian dan keyakinan, maka itulah orang-orang yang faham dengan keimanannya. Allah SWT berfirman, "Katakanlah: "Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian) kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami (nya)." (QS. Al An'aam, 6:65). Semoga saja sikap bijaksana dari seorang ulama diatas mengilhami kita untuk terus menjadi manusia yang senantiasa bersyukur, hidup tiada sempit dan tanpa harus merasa sulit. Hal itu sesuai anjuran Al Qur'an Nur Karim (QS. Az Zumar, 39:66) yang berbunyi, "Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur". Amien (phi).

--Oleh : Redaktur PHI--

No comments: