Wednesday, March 26, 2008

Refleksi Prie GS 25/03/08

Suatu Hari Ketika Ayat Ayat Cinta Ngetop Sekali (2)


Ayat Ayat Cinta yang ngetop, saya yang ikut repot, tepatnya sewot. Kesewotan itulah yang hendak saya ceritakan di tulisan ini seri pertama. Semua ini gara-gara saya mengenal dekat siapa penulisnya, Habiburrahman El Shirazy. Pertemanan kami sudah seperti saudara dan kami malah sedang merintis mendirikan pesantren bersama. Komentar pendek saya ada di dalam novelnya, dan pengantar panjang Kang Habib ada di novel terbaru saya : Ipung! Saya pasti bangga atas kedermawanan ini dan terbukti ia membawa banyak keberuntungan. Seorang pembaca mengirim SMS kepada saya yang intinya; ‘’saya membeli novel Ipung karena ada komentar Habiburrahman di dalamnya’’. Mestinya saya tersinggung. Tetapi sepanjang novel saya dibeli ya sudah, saya rela saja. Saya tidak menghargai ketersingungan ini terlalu tinggi sepanjang novel saya jadi laku karenanya.

Tetapi kedekatan dengan Habib itu ternyata tidak cuma mendatangkan keberuntungan melainkan juga kejengkelan. Lumayan jika ia mengirim SMS dengan pujian untuk Habib sambil membeli buku saya. Pengirim SMS dan penelpon berikutnya adalah daftar yang sama sekali sepihak: ia melulu hanya untuk Habib dan saya sekadar tempat lewat belaka.

‘’Anda kenal Kang Abik, tolong sampaikan kritik sekaligus pujian saya’’ bunyi SMS satu.
‘’Tolong saya minta HP-nya’’ pinta yang lainnya.
‘’Saya ingin wawancara, bisa minta alamatnya?’’ bujuk yang lain lagi!
‘’Saya dari TV anu, ingin mengulas panjang lebar Aya-ayat Cinta. Kami baca di milis, ada nama Anda sebagai sahabatnya. Bisa Bantu saya?’’ pinta yang lainnya lagi.
‘’Kalau ngundang Kang Abik berapa honornya. Apa Anda bisa jadi perantara?’’
‘’Tolong ulangi kirim nomor yang tadi. Ketikan Anda tampaknya kurang satu digit!’’
‘’Saya kecewa dengan film Ayat-Ayat Cinta. Tak sebagus novelnya. Tolong sampaikan pengarangnya!’’
‘’Hallo Mas Prie GS, apa kabar? Saya produser non drama TV anu di Jakarta,’’ sapa seorang penelpon di ujung sana. Kebetulan inilah TV yang memiliki banyak hutang kesanggupan pada saya. Wajar jika saya berpikir, ooo inilah waktunya TV ini melunasi hutang-hutangnya yang lama. Benarkah? Tidak. Karena inilah kalimat berikutnya:
‘’Saya setengah mati mencari nomor penulis Ayat Ayat Cinta. Nomor yang saya punya tak bisa dihubungi. Saya pikir Andalah orang yang tepat membantu saya,’’ katanya. Hahaha… sialan!

Itulah sebagian SMS dan telepon yang masuk ke HP saya. Anda tahu, saya juga penulis. Anda tahu tak ada penulis yang tidak ingin sukses. Punya buku laris, kemudian difilmkan dan meledak pula. Maka bisa Anda bayangkan betapa seluruh telepon dan SMS itu pasti tak lebih cuma mengundang kecemburuan saya belaka. Betapapun saya dan Kang Abik itu sudah seperti saudara, tetapi tak ada jaminan
bahwa saya sudah terbebas dari rasa iri atas keberhasilannya. Apalagi menyangkut soal kesuksesan, seragam belaka reaksi manusa kepadanya. Tak peduli orang dekat atau orang jauh, sukses dan kebahagiaan rawan memancing kecemburuan. Saya pasti bukan perkecualian. Kepada siapa saja yang jauh lebih sukses, saya menyampaian iri hati saya secara terbuka.

Saya tidak malu punya penyakit iri , asal ia tidak berkembang menjadi jahat, itu saja. Maka saya gembira sekali ketika meskipun iri, saya tetap memutuskan melayani para penelpon dan pengirim SMS ini sekuat yang saya bisa. Ada perasaan gembira ketika saya sanggup melakukannya. Semakin berat sebuah tekanan, ternyata semakin memunculkan perasaan berharga ketika saya sanggup mengatasinya. Maka jika ada jenis iri hati yang mendatangkan kegembiraan, saya jadi siap iri berkali-kali.

--Prie GS

Monday, March 24, 2008

Teladan Rumah Tangga Rasulullah SAW

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.. (QS. Al-Ahzab (33): 21)

Ketika kita menempuh bahtera rumah tangga, ketika kita sedang menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, kita dianjurkan untuk menengok kembali kecintaan kita kepada keluarga Nabi. Dalam memperkuat kecintaan kita kepada keluarga Nabi di dalam mengayuh bahtera keluarga, kita diwajibkan mencontoh perilaku kehidupan keluarga Rasulullah, baik perilaku terhadap istri maupun anak.Dalam memperlakukan istrinya, Rasulullah senantiasa menghormati dan menjaga perasaan istrinya melebihi suami-suami yang lainnya.

Suatu saat, ketika Rasulullah hendak melaksanakan salat malam, beliau dekati istrinya Aisyah. Aisyah berkata: "Di tengah malam beliau mendekatiku dan ketika kulitnya bersentuhan dengan kulitku, beliau berbisik, 'Wahai Aisyah, izinkan aku untuk beribadat kepada Robb-ku'." Kita bayangkan betapa besar penghormatan Rasul kepada istrinya sampai ketika beliau hendak melakukan salat malam, beliau terlebih dahulu meminta izin kepada istrinya pada tengah malam, di saat istrinya membutuhkannya. Dalam permintaan izin Rasulullah itulah, tergambar kecintaan dan penghormatan terhadap istrinya.

Nabi adalah sosok yang sangat sabar dalam memperlakukan istrinya. Hal ini terlihat ketika suatu hari ada salah seorang istri-nya datang dengan membawa makanan untuk dikirim kepada Rasulullah yang sedang tinggal di rumah Aisyah. Aisyah dengan sengaja menjatuhkan kiriman makanan itu hingga piringnya pecah dan makanannya jatuh berserakan. Rasulullah hanya mengatakan: "Wahai Aisyah, kifaratnya adalah mengganti makanan itu dengan makanan yang sama."

Rasulullah mengecam suami yang suka memukuli istrinya. Rasulullah berkata: "Aku heran melihat suami yang menyiksa istrinya, padahal dia lebih patut disiksa oleh Allah."

Nabi pun mengecam suami yang menghinakan istrinya, tidak menghargainya, tidak mengajaknya bicara, dan tidak mempertimbangkan istrinya dalam mengambil keputusan. Nabi bersabda, "Tidak akan pernah memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia dan tidak akan pernah menghinakan wanita kecuali lelaki yang hina." Karena itu, marilah kita berusaha menjadi suami yang mulia yang menempatkan istri pada tempat yang mulia.

Dalam Islam, salah satu ibadat yang paling besar nilainya adalah berkhidmat kepada istri. Rasulullah bersabda "Duduknya seorang lelaki dengan istrinya kemudian membahagiakannya, pahalanya sama dengan orang yang itikaf di mesjidku." Kita dapat saksikan, kita akan memperoleh pahala yang sama seperti orang yang itikaf di Mesjid Nabawi kalau kita duduk bersama istri dan berusaha membahagiakan, memberikan ketenteraman, dan kenyamanan padanya.

Begitu pula bagi para istri. Mereka harus menjadi seorang istri seperti Khadijah al-Kubra. Khadijah adalah sosok istri yang sangat dicintai oleh suaminya. Selama menikah dengannya, Rasulullah tidak pernah memikirkan wanita lain di samping Khadijah. Rasulullah hidup dalam suasana yang penuh dengan kecintaan dan kasih sayang.

Cinta kasih Nabi terhadap Khadijah tergambar dalam riwayat berikut ini: Setelah Khadijah meninggal dunia, Rasulullah menikah dengan Aisyah. Suatu hari, Rasulullah sedang berada di depan rumah. Tiba-tiba Rasulullah meninggalkan Aisyah, menghampiri seorang perempuan. Rasulullah memanggilnya dan menyuruh perempuan itu duduk di hadapannya kemudian mengajaknya bicara. Aisyah bertanya, "Siapakah perempuan tua ini?" Rasul menjawab, "Inilah sahabat Khadijah dulu." Lalu Aisyah berkata, "Engkau sebut-sebut juga Khadijah, padahal Allah telah menggantikannya dengan istri yang lebih baik."

Ketika itu "marah" lah Rasul, lalu beliau berkata, "Demi Allah, tidak ada yang dapat menggantikan Khadijah. Dialah yang memberikan kepadaku kebahagiaan ketika orang mencelakakanku. Dialah yang menghiburku dalam penderitaan ketika semua orang membenciku. Dialah yang memberikan seluruh hartanya kepadaku ketika semua orang menahan pemberiannya. Dan dialah yang menganugerahkan kepadaku anak ketika istri-istri yang lain tidak memberikannya." Mendengar itu Aisyah tidak dapat memberikan jawaban. Hadits ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Dalam ucapan Rasulullah itu, selain terkandung kecintaan Rasul terhadap Khadijah, juga terkandung kebaktian Khadijah terhadap suaminya. Khadijahlah yang menghibur suaminya ketika dalam perjuangan dilanda berbagai penderitaan. Khadijahlah yang mengorbankan seluruh hartanya ketika suaminya memerlukan. Khadijahlah yang mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Sehingga, Rasul berkata, "Tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan Khadijah."

Kepada para istri, jadilah seperti Khadijah yang setiap saat rela mengorbankan apa pun demi kebahagiaan suami. Yang di saat-saat suami ditimpa duka dan kesusahan siap berdiri di sampingnya, memberikan hiburan dan kebahagiaan kepadanya dengan seluruh jiwa dan raga.

Kebaktian pada suami di dalam Islam dianggap ibadah yang utama. Oleh sebab itu, hormatilah suami. Berikan kepadanya penghormatan yang sepenuhnya dan berikanlah kecintaan yang sepenuhnya. Insya Allah, Allah akan memberkati keluarga yang seperti demikian. (UJR-Fikri Yatir)

Mahabenar Allah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana - Semoga bermanfaat

Tuesday, March 18, 2008

Refleksi Prie GS 17/03/08

Suatu Hari Ketika Ayat-Ayat Cinta Ngetop Sekali (1)

Mumpung novel dan film Ayat-Ayat Cinta sedang menjadi fenomena, izinkan saya numpang terkenal. Bukan karena dua nama di balik proyek ini ada adalah orang yang dekat dengan hidup saya, melainkan karena sebuah kerepotan yang amat menganggu saya, sejak novel ini terkenal. Sebelum kerepotan itu lebih jauh saya bicarakan, baiklah saya ceritakan lebih dahulu siapa dua orang penting itu.

Pertama adalah Habiburrahman Al Shirazy, sang penulis dan kedua adalah Anif Sirsaeba, adik Habib. Anif adalah nama yang amat berjasa membawa novel kakaknya itu ke sana kemari, menawarkananya ke sana kemari, mencari endorsement ke sana-kemari, bernegosiasi ke sana kemari, sehingga Ayat-Ayat Cinta menjadi sebesar ini. Bentuk fisiknya memang tak seberapa. Orang malah cenderung salah sangka
jika ketemu Anif untuk kali pertama. Tetapi dengarkan kalau ia sudah ngomong,seluruh anggota tubuhnya akan bergerak sedemikian rupa. Matanya akan melotot dan kalau perlu ludahnya akan muncrat kesana-kemari. Ia adalah negosiator ulung. Jangan coba-coba membuat negosiasi penting dengan Habib tanpa izin adiknya. Ini bisa membuatnya marah. Semula dia adalah mahasiswa yang sering mendengar ceramah jurnalistik saya di kampusnya. Sebagai pendengar ia sering mencari perhatian saya dengan menjual keangkuhannya. Tapi ia belum tahu bahwa yang ia hadapi ini adalah Prie GS yang juga memiliki keangkuhan yang sama. Akhirnya orang yang sama-sama angkuh capek sendiri dan memutuskan menjadi kakak dan adik saja. Saya kakaknya, dia adik angkat saya. Jadi betapapun saya lebih tua darinya. Maka kalaupun lebih pintar, ia harus punya tertip menghormati saya. Apa boleh buat!

Pernah dua orang ini Habib dan Anif, diundang ke Jakarta oleh sebuah PH yang tertarik utnuk menggarap proyek Ayat-Ayat Cinta. Diundang, tetapi menurut Anif tidak diperlakukan semestinya. Diminta menunggu terlalu lama. Diangap sebagai orang desa yang amat butuh pekerjaan. Anif mestinya sudah jagoan menangani keadaan ini, tetapi dari Jakarta ia memerlukan menelpon saya. ‘’Apa yang harus saya lakukan?’’ tanyanya. ‘’Keluar dari ruangan itu. Segera! Kalau perlu tanpa pamit!’’ kata saya. ‘’Kamu ini orang miskin. Jadi jangan mau dihina. Jangan miskin dua kali!’’ tambah saya. Dan ia setuju dengan nasihat ini. Ya, dari awal, kami memang orang-orang yang mendidik diri sendiri untuk kuat di hadapan kemiskinan. Kami menjalaninya dengan gembira. Kepada orang-orang yang menghina dan meremehkan kemiskinan, kami ganti akan memandang mereka dengan sebelah mata. Agak pendendam memang. Tapi teknik ini pasti ini adalah usaha yang cerdas untuk melawan tekanan.

Lewat Anif inilah Novel Ayat-Ayat Cinta cetakan pertama dibawa ke rumah dan saya membacanya. Dalam soal menulis, saya merasa tidak kalah hebat dari Habib, maka jika bicara soal teori sastra, saya bisa lebih berbusa-busa dari Habib. Jadi saya tidak tertarik membicarakan novel Habib itu dari sudut kesusastraan. Tetapi novel ini rampung saya baca dan di beberapa bagian saya terharu dibuatnya.

Kesimpulan saya sederhana; inilah buku yang ditulis dengan ketulusan. Tumpah begitu saja. ‘’Kakakmu ini Hamka kecil,’’ gumam saya saat itu. Cuma berguma memang. Tetapi kalimat itulah yang kini ada sebagai endorsement di novel Ayat-ayat Cinta cetakan berikutnya.

Waktu itu saya benar-benar berguman karena secara disiplin bercerita, bahkan sastrawan sebesar Hamka saya anggap begitu begitu saja. Saya merasa lebih bisa mengarang-ngarang plot yang dramatik, kalimat-kalimat yang kenes dan diksi yang gaya. Tetapi Hamka tidak. Ia lurus saja seperti layaknya gaya orang tua. Tetapi membaca novelnya, air mata saya bisa berleleran. Habib di mata saya, memiliki konteks seperti ini. Oo, ternyata ada yang lebih tua umurnya dari apa yang saya
pahami sebagai sastra itu. Ada sesuatu yang lebih bertenaga dari sekadar teori sastra. Untuk sementara saya ingin menyebutnya sebagai jiwa yang menyeluruh. Tak peduli apapun kata-katamu, jalau jiwamu tumpah seluruh, ia akan menjadi gelombang yang luar biasa, pikirku. Tetapi aku tidak cukup puas dengan kata-kata sendiri ini. Aku membutuhkan seorang seperti Ignas Kleden untuk mau
menjelaskan kepada khalayak dengan bahasa yang lebih sekolahan. Ignas adalah manusia sekolahan yang saya kagumi. Ia punya hutang pada saya untuk kejelasan ini.

Oya, saya masih akan berceirta tentang Habib dan Anif, tetapi terpaksa harus bersambung di kolom berikutnya. Tunggu saja!

--Prie GS

Tuesday, March 11, 2008

Ketika Itulah Rasulullah saw menangis

For all my friend, this is a little tausyiah for this week....... please have a nice read....

Ketika Itulah Rasulullah saw menangis


PADA suatu hari Rasulullah SAW datang ke masjid Bani Zhafar bersama Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, dan sahabat lain. Dia perintahkan Ibnu Mas'ud membaca Alquran.

"Apakah aku harus membacakan padamu Alquran, padahal Alquran itu diturunkan kepadamu?" tanya Ibnu Mas'ud.
"Benar, tetapi aku ingin mendengarkan dari orang lain," sabda Nabi.

Ibnu Mas'ud mulai bacaannya dari surat an-Nisa. Ketika sampai kepada ayat 41: "Maka bagaimana sekiranya Kami datangkan seorang saksi dari setiap umat dan Kami datangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu."

Ibnu Mas'ud mengangkat kepala dan melihat Rasulullah terisak-isak menangis, sehingga berguncang janggutnya. Air matanya membasahi pipi.

Terdengar Nabi bergumam, "Benar, Tuhanku. Aku bersaksi untuk mereka yang berada di tengah-tengahku sekarang. Bagaimana aku harus bersaksi dengan mereka yang tidak aku saksikan?"

Riwayat di atas saya kutip dari buku Indaidzin 'Bakaa al-Nabi SAW (Pada Saat Itulah Nabi Menangis) tulisan Abu Abd al-Rahman Khalid.
Nabi menangis ketika mendengarkan bacaan Alquran. Nabi melanjutkan tradisi para Nabi sebelumnya dan mencontohkan kebiasaan orang saleh sepanjang sejarah manusia. Tradisi orang-orang yang Allah anugerahkan kepada mereka kebahagiaan. Orang-orang yang Allah anugerahkan kepada mereka kenikmatan, yakni para Nabi dari keturunan Adam, dan dari antara orang-orang yang Kami bawa bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan di antara orang-orang yang Kami tunjuki dan Kami pilih. (Tanda mereka itu) ialah apabila dibacakan ayat-ayat Yang Mahakasih mereka merebahkan diri, bersujud, sambil menangis. (Maryam: 58).

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (Q.S Maryam: 58).

Ibnu Katsir menerangkan tafsir ayat di atas, "Yakni, apabila mereka mendengarkan firman Tuhan yang mengandung hujah-hujahNya, dalil-dalil-Nya, dan bukti-bukti-Nya, mereka bersujud kepada Tuhan dengan penuh kerendahan hati seraya memuji-Nya dan mensyukuri anugerah Tuhan yang agung pada mereka."

Kata bukiy dalam ayat ini artinya bentuk jamak dari baaki yang artinya orang menangis. Karena itu, para ulama ijmak tentang disyariatkannya bersujud ketika sampai pada ayat ini, mengambil contoh dan mengikuti tradisi orang-orang saleh itu. (Tafsir Ibn Katsir 3:131).

Pada suatu kesempatan Nabi SAW membacakan ayat-ayat yang memuji rahib Nasrani. Pujian Alquran untuk para rahib itu begitu indah sehingga sahabat bingung dan mempertanyakan kenapa Islam tidak menyuruh umatnya jadi rahib saja.

Nabi SAW membacakan ayat-ayat itu bukan untuk merahibkan kita, tetapi untuk meniru perilaku mereka. Apa perilaku mereka?

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah: 82-83 :
82.Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani." Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.
83. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.). (Q.S.Al-Maidah: 82-83).

Di antara perilaku rahib yang harus kita tiru adalah kamu lihat mereka mencurahkan air mata ketika mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (dalam hal ini Alquran). Nabi SAW menangis ketika Alquran dibacakan kepadanya, padahal kepadanya Alquran diturunkan. Para rahib menangis ketika mendengar Alquran, padahal itu bukan kitab yang diturunkan kepada Nabi mereka.

Lebih 1.000 tahun setelah Alquran turun, Jeffry Lang, profesor matematika di AS mencari agama dengan sikap kritis. Dia bertemu dengan Alquran dan takjub dengan jawaban Alquran atas pertanyaannya. Di hadapan Tuhan, ketika dia salat pertama kali, waktu membaca Al-Fatihah, dia menangis terisak-isak. Muallaf baru ini ternyata lebih dekat dengan contoh para Nabi ketimbang kita.

Apa yang harus kita lakukan supaya bisa membaca Alquran seperti Lang? Muhammad Iqbal, filsuf Islam dari anak benua India, menjawab dengan kisah hidupnya. Pada waktu kecil, dia suka membaca Alquran bakda subuh. Ayahnya selalu menganggap dia belum membaca Alquran.

Ketika dia bertanya, ayahnya berkata, "Bacalah Alquran seakan-akan dia diturunkan untuk kamu!" Supaya Anda bisa menangis, masukkan ke hatimu bahwa Tuhan sedang menyapa kamu, berdialog dengan kamu, dan menjawab semua pertanyaan kamu.

Wallaahu a'lamu bishshawaab.
(KH Jalaluddin Rakhmat)

Tuesday, March 04, 2008

Refleksi Prie GS 04/03/2008

Selimut dalam Tidurku

Dinihari ketika udara dingin sekali. Sudah saatnya bangun pagi, tetapi tidur masih enak sekali. Jangankan memaksa bangun, untuk bergerak saja rasanya sayang sekali. Khawatir kualitas tidur yang sedang enak-enaknya rusak seketika. Sebenarnya aku tidak benar-benar tidur karena kesadaran sudah separoh jaga. Tetapi juga bukan benar-benar terbangun karena kantuk masih begitu hebatnya. Inilah yang menjengkelkan dari tidur,kenyenyakannya justru suka datang di jam-jam ketika kita harus bangun dan bekerja.

Begitulah pagiku saat itu. Sudah saatnya bangun mestinya tetapi kantuk masih menggoda. Sekali lagi; jangankan bangun, bahkan untuk menarik selimut pun, butuh kemauan ekstra. Sekali waktu untuk sekali tarikan tak apa-apa, tetapi jika telah berkali-kali ditarik, selimut ini belum rapat juga, kacau jadinya. Lebih baik menyerah pada kantuk, walau masih ada sisa tubuh yang terbuka daripada seluruh tidur rusak semua. Sisa tubuh itu bisa cuma ujung dengkul, bisa cuma ujung kaki, atau sekadar tengkuk, tetapi astaga, itulah lubang-lubang angin , yang membuat tidur dahsyat ini tak berjalan sempurna. Lubang angin itu terasa seperti teror yang mengejek senantiasa, tetapi entah kenapa aku tak berdaya mencegahnya. Apalagi aku amat gemar berselimit sarung. Dan inilah watak sarung itu; ditarik di sini merosot di sana. Nutup di sana bolong di sini. Menjengkelkan sekali.

Tidur yang begini kemudian menjadi penuh paradoks: ia terlalu nyenyak untuk dibuat bangun, tetapi terlalu terganggu untuk dibuat nyenyak. Sebetulnya butuh langkah sederhana untuk mengatasinya, tinggal bangun, menata diri, lalu tidur lagi. Tetapi siapa bilang langkah ini sederhana. Karena jika aku sudah mampu terbangun, tidur nyenyak itu pasti sudah tak ada. Itulah misteri tidur, ia tak bisa bangun di tengah jalan. Itulah kenapa seorang yang dibangunkan paksa bisa marah sekali. Jika pun ia bis menahan marah, tubuhnya suka gagal menahan gelisah. Itulah kenapa Rockefeller meminta siapa saja tak menganggu tidurnya meskipun ia presiden Amerika.

Maka kuteruskan tidur konyolku itu. Tidur nyenyak sambil jengkel karena lubang angin masih menyembur di kakiku. Tetapi pada saat itulah berkah Tuhan datang, istriku yang telah terbangun tampaknya melihat posisi tubuh suaminya yang payah.
Centang perenang sedemikian rupa sehinga sang selimut itu tak memadai. Ditatanya selimut itu pelan sekali khawatir aku terjaga, hingga kehangatanku merata. Ia menyangka aku sedang amat terlena. Padahal ia salah sangka. Aku mengerti seluruh ekspresinya, gerakan tangannya, sikap hati-hatinya. Ia hendak menjaga suaminya seperti tengah melindungi seorang anak-anaknya. Amboi, betapa aku tega menipunya!

Sebetulnya sambil sok terlena, aku sudah sangat ingin tertawa. Istriku sedang
terpedaya dengan kenyenyakanku yang semu itu. Bahkan sambil nyenyak begitu,
diam-diam aku tegang dan berdoa, agar ia mau menata selimutku. Kenapa tegang?
Karena doa semacam ini tidak mudah dikalbulkan. Alasannya objektif saja. Pertama hari memang sudah pagi. Tidak pantas jika orang tua tidak mendahului
anak-anaknya bangun pagi. Tidak pantas membiarkan istri sendirian berkutat dengan tumpukan tugas pagi, sementara aku pura-pura tidak mengerti. Istri yang cerdas, pasti akan pura-pura menarik selimut itu tanpa sengaja sehingga kedinginan akan menghajar sekujur tubuh suaminya. Dengan begitu ia akan gagal melanjutkan tidur salah waktunya dan bisa membantu kerepotannya. Tetapi tidak. Doaku ternyata dikabulkan. Istriku merapatkan selimut itu ke seluruh tubuhku. Sejak itu kualitas kemalasanku menjadi amat sempurna.

Cuma satu tarikan selimut, aku merasa amat menikmati kemanjaan yang belum kurasa sebelumnya. Memang cuma satu tarikan. Tetapi di dalam garis penarik itu memuat sekali titik-titik yang lengkap isinya. Ada pemberian tanpa butuh balasan, ada tindakan saling melindungi dan memanjakan, ada kerelaan membiarkan pihak lain menikmati rezeki walau itu cuma berupa kenyenyakan. Sejak saat itu, aku
bergairah sekali mencari orang-orang yang tertidur di sebelahku untuk kubenahi
selimutnya. Walau mungkin orang-orang itu tidak sedang benar-benar tertidur,
sehingga mengerti perbuatanku. Tapi apa peduliku, kami bisa pura-pura untuk tidak saling tahu. Tak apa saling berpura pura jika hasilnya, adalah kebahagiaan
bersama yang begitu jelasnya.

Prie GS