Tuesday, March 18, 2008

Refleksi Prie GS 17/03/08

Suatu Hari Ketika Ayat-Ayat Cinta Ngetop Sekali (1)

Mumpung novel dan film Ayat-Ayat Cinta sedang menjadi fenomena, izinkan saya numpang terkenal. Bukan karena dua nama di balik proyek ini ada adalah orang yang dekat dengan hidup saya, melainkan karena sebuah kerepotan yang amat menganggu saya, sejak novel ini terkenal. Sebelum kerepotan itu lebih jauh saya bicarakan, baiklah saya ceritakan lebih dahulu siapa dua orang penting itu.

Pertama adalah Habiburrahman Al Shirazy, sang penulis dan kedua adalah Anif Sirsaeba, adik Habib. Anif adalah nama yang amat berjasa membawa novel kakaknya itu ke sana kemari, menawarkananya ke sana kemari, mencari endorsement ke sana-kemari, bernegosiasi ke sana kemari, sehingga Ayat-Ayat Cinta menjadi sebesar ini. Bentuk fisiknya memang tak seberapa. Orang malah cenderung salah sangka
jika ketemu Anif untuk kali pertama. Tetapi dengarkan kalau ia sudah ngomong,seluruh anggota tubuhnya akan bergerak sedemikian rupa. Matanya akan melotot dan kalau perlu ludahnya akan muncrat kesana-kemari. Ia adalah negosiator ulung. Jangan coba-coba membuat negosiasi penting dengan Habib tanpa izin adiknya. Ini bisa membuatnya marah. Semula dia adalah mahasiswa yang sering mendengar ceramah jurnalistik saya di kampusnya. Sebagai pendengar ia sering mencari perhatian saya dengan menjual keangkuhannya. Tapi ia belum tahu bahwa yang ia hadapi ini adalah Prie GS yang juga memiliki keangkuhan yang sama. Akhirnya orang yang sama-sama angkuh capek sendiri dan memutuskan menjadi kakak dan adik saja. Saya kakaknya, dia adik angkat saya. Jadi betapapun saya lebih tua darinya. Maka kalaupun lebih pintar, ia harus punya tertip menghormati saya. Apa boleh buat!

Pernah dua orang ini Habib dan Anif, diundang ke Jakarta oleh sebuah PH yang tertarik utnuk menggarap proyek Ayat-Ayat Cinta. Diundang, tetapi menurut Anif tidak diperlakukan semestinya. Diminta menunggu terlalu lama. Diangap sebagai orang desa yang amat butuh pekerjaan. Anif mestinya sudah jagoan menangani keadaan ini, tetapi dari Jakarta ia memerlukan menelpon saya. ‘’Apa yang harus saya lakukan?’’ tanyanya. ‘’Keluar dari ruangan itu. Segera! Kalau perlu tanpa pamit!’’ kata saya. ‘’Kamu ini orang miskin. Jadi jangan mau dihina. Jangan miskin dua kali!’’ tambah saya. Dan ia setuju dengan nasihat ini. Ya, dari awal, kami memang orang-orang yang mendidik diri sendiri untuk kuat di hadapan kemiskinan. Kami menjalaninya dengan gembira. Kepada orang-orang yang menghina dan meremehkan kemiskinan, kami ganti akan memandang mereka dengan sebelah mata. Agak pendendam memang. Tapi teknik ini pasti ini adalah usaha yang cerdas untuk melawan tekanan.

Lewat Anif inilah Novel Ayat-Ayat Cinta cetakan pertama dibawa ke rumah dan saya membacanya. Dalam soal menulis, saya merasa tidak kalah hebat dari Habib, maka jika bicara soal teori sastra, saya bisa lebih berbusa-busa dari Habib. Jadi saya tidak tertarik membicarakan novel Habib itu dari sudut kesusastraan. Tetapi novel ini rampung saya baca dan di beberapa bagian saya terharu dibuatnya.

Kesimpulan saya sederhana; inilah buku yang ditulis dengan ketulusan. Tumpah begitu saja. ‘’Kakakmu ini Hamka kecil,’’ gumam saya saat itu. Cuma berguma memang. Tetapi kalimat itulah yang kini ada sebagai endorsement di novel Ayat-ayat Cinta cetakan berikutnya.

Waktu itu saya benar-benar berguman karena secara disiplin bercerita, bahkan sastrawan sebesar Hamka saya anggap begitu begitu saja. Saya merasa lebih bisa mengarang-ngarang plot yang dramatik, kalimat-kalimat yang kenes dan diksi yang gaya. Tetapi Hamka tidak. Ia lurus saja seperti layaknya gaya orang tua. Tetapi membaca novelnya, air mata saya bisa berleleran. Habib di mata saya, memiliki konteks seperti ini. Oo, ternyata ada yang lebih tua umurnya dari apa yang saya
pahami sebagai sastra itu. Ada sesuatu yang lebih bertenaga dari sekadar teori sastra. Untuk sementara saya ingin menyebutnya sebagai jiwa yang menyeluruh. Tak peduli apapun kata-katamu, jalau jiwamu tumpah seluruh, ia akan menjadi gelombang yang luar biasa, pikirku. Tetapi aku tidak cukup puas dengan kata-kata sendiri ini. Aku membutuhkan seorang seperti Ignas Kleden untuk mau
menjelaskan kepada khalayak dengan bahasa yang lebih sekolahan. Ignas adalah manusia sekolahan yang saya kagumi. Ia punya hutang pada saya untuk kejelasan ini.

Oya, saya masih akan berceirta tentang Habib dan Anif, tetapi terpaksa harus bersambung di kolom berikutnya. Tunggu saja!

--Prie GS

No comments: