Tuesday, March 04, 2008

Refleksi Prie GS 04/03/2008

Selimut dalam Tidurku

Dinihari ketika udara dingin sekali. Sudah saatnya bangun pagi, tetapi tidur masih enak sekali. Jangankan memaksa bangun, untuk bergerak saja rasanya sayang sekali. Khawatir kualitas tidur yang sedang enak-enaknya rusak seketika. Sebenarnya aku tidak benar-benar tidur karena kesadaran sudah separoh jaga. Tetapi juga bukan benar-benar terbangun karena kantuk masih begitu hebatnya. Inilah yang menjengkelkan dari tidur,kenyenyakannya justru suka datang di jam-jam ketika kita harus bangun dan bekerja.

Begitulah pagiku saat itu. Sudah saatnya bangun mestinya tetapi kantuk masih menggoda. Sekali lagi; jangankan bangun, bahkan untuk menarik selimut pun, butuh kemauan ekstra. Sekali waktu untuk sekali tarikan tak apa-apa, tetapi jika telah berkali-kali ditarik, selimut ini belum rapat juga, kacau jadinya. Lebih baik menyerah pada kantuk, walau masih ada sisa tubuh yang terbuka daripada seluruh tidur rusak semua. Sisa tubuh itu bisa cuma ujung dengkul, bisa cuma ujung kaki, atau sekadar tengkuk, tetapi astaga, itulah lubang-lubang angin , yang membuat tidur dahsyat ini tak berjalan sempurna. Lubang angin itu terasa seperti teror yang mengejek senantiasa, tetapi entah kenapa aku tak berdaya mencegahnya. Apalagi aku amat gemar berselimit sarung. Dan inilah watak sarung itu; ditarik di sini merosot di sana. Nutup di sana bolong di sini. Menjengkelkan sekali.

Tidur yang begini kemudian menjadi penuh paradoks: ia terlalu nyenyak untuk dibuat bangun, tetapi terlalu terganggu untuk dibuat nyenyak. Sebetulnya butuh langkah sederhana untuk mengatasinya, tinggal bangun, menata diri, lalu tidur lagi. Tetapi siapa bilang langkah ini sederhana. Karena jika aku sudah mampu terbangun, tidur nyenyak itu pasti sudah tak ada. Itulah misteri tidur, ia tak bisa bangun di tengah jalan. Itulah kenapa seorang yang dibangunkan paksa bisa marah sekali. Jika pun ia bis menahan marah, tubuhnya suka gagal menahan gelisah. Itulah kenapa Rockefeller meminta siapa saja tak menganggu tidurnya meskipun ia presiden Amerika.

Maka kuteruskan tidur konyolku itu. Tidur nyenyak sambil jengkel karena lubang angin masih menyembur di kakiku. Tetapi pada saat itulah berkah Tuhan datang, istriku yang telah terbangun tampaknya melihat posisi tubuh suaminya yang payah.
Centang perenang sedemikian rupa sehinga sang selimut itu tak memadai. Ditatanya selimut itu pelan sekali khawatir aku terjaga, hingga kehangatanku merata. Ia menyangka aku sedang amat terlena. Padahal ia salah sangka. Aku mengerti seluruh ekspresinya, gerakan tangannya, sikap hati-hatinya. Ia hendak menjaga suaminya seperti tengah melindungi seorang anak-anaknya. Amboi, betapa aku tega menipunya!

Sebetulnya sambil sok terlena, aku sudah sangat ingin tertawa. Istriku sedang
terpedaya dengan kenyenyakanku yang semu itu. Bahkan sambil nyenyak begitu,
diam-diam aku tegang dan berdoa, agar ia mau menata selimutku. Kenapa tegang?
Karena doa semacam ini tidak mudah dikalbulkan. Alasannya objektif saja. Pertama hari memang sudah pagi. Tidak pantas jika orang tua tidak mendahului
anak-anaknya bangun pagi. Tidak pantas membiarkan istri sendirian berkutat dengan tumpukan tugas pagi, sementara aku pura-pura tidak mengerti. Istri yang cerdas, pasti akan pura-pura menarik selimut itu tanpa sengaja sehingga kedinginan akan menghajar sekujur tubuh suaminya. Dengan begitu ia akan gagal melanjutkan tidur salah waktunya dan bisa membantu kerepotannya. Tetapi tidak. Doaku ternyata dikabulkan. Istriku merapatkan selimut itu ke seluruh tubuhku. Sejak itu kualitas kemalasanku menjadi amat sempurna.

Cuma satu tarikan selimut, aku merasa amat menikmati kemanjaan yang belum kurasa sebelumnya. Memang cuma satu tarikan. Tetapi di dalam garis penarik itu memuat sekali titik-titik yang lengkap isinya. Ada pemberian tanpa butuh balasan, ada tindakan saling melindungi dan memanjakan, ada kerelaan membiarkan pihak lain menikmati rezeki walau itu cuma berupa kenyenyakan. Sejak saat itu, aku
bergairah sekali mencari orang-orang yang tertidur di sebelahku untuk kubenahi
selimutnya. Walau mungkin orang-orang itu tidak sedang benar-benar tertidur,
sehingga mengerti perbuatanku. Tapi apa peduliku, kami bisa pura-pura untuk tidak saling tahu. Tak apa saling berpura pura jika hasilnya, adalah kebahagiaan
bersama yang begitu jelasnya.

Prie GS

No comments: